Seiring adanya evolusi, apakah janji kita masih berarti?
“Kami Putra
dan Putri Indonesia menjunjung tinggi Bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”
Di
Indonesia, sekolah-sekolah yang berlabel International sudah tidak terhitung
lagi jumlahnya; mayoritas orang tua ingin menyekolahkan anaknya pada
sekolah-sekolah yang terpercaya dan memiliki kualitas pendidikan yang
menjanjikan pada siswa/inya. Maka dari itu saya tidak heran saat adik saya
memutuskan untuk menyekolahkan anak satu-satunya di Jakarta Intercultural
School. Akan tetapi, dengan diberinya sorotan media kepada isu pelecehan
seksual di JIS baru-baru ini, satu per satu pelanggaran yang dilakukan oleh
sekolah itu mulai terkuak, dan saya, sebagai seorang kakak, tante, dan warga
Indonesia, mulai khawatir.
Sudah resmi
diumumkan bahwa dengan tidak difasilitasikannya pelajaran agama, PPKN, dan
Bahasa Indonesia, kurikulum di JIS telah melanggar undang-undang negara. Tidak
bisa dipungkiri, mereka memang berbasis internasional dan dihuni oleh
murid-murid dari berbagai latar-belakang dan budaya, maka mengadopsi
keseluruhan budaya barat menjadi hal yang cukup wajar. Akan tetapi, dengan
hilangnya sarana untuk menumbuhkan pengertian terhadap Bahasa negeri sendiri,
dapat dipastikan bahwa akan ada penyimpangan yang besar dari kaidah-kaidah
Bahasa Indonesia pada generasi yang akan mendatang.
Sejarah bahasa
di Indonesia berawal dari kelahirannya pada tanggal 28 Oktober 1928, sebagai
Bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa resmi negara Indonesia dalam ikrar
Sumpah Pemuda. Seiring jalannya waktu, banyak faktor mulai berperan dalam
mendorong bahasa untuk berevolusi. Globalisasi pada masa kini memungkinkan kita
untuk tetap terhubung dengan dunia di luar negeri kita sendiri, yang
memperbolehkan kita untuk membentuk ikatan dan belajar dari satu sama lain.
Akan tetapi, globalisasi juga membuat kita rentan terhadap pengaruh budaya
luar, yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang positif, tetapi dalam satu sisi
juga bisa memudarkan budaya asli kita. Sebagai contoh, sekarang kalangan ABG
sering menggunakan Bahasa gaul seperti “bonyok” (bokap nyokap) untuk “orang
tua,” dan “sokap” untuk “siapa,” yang sebetulnya masih mempertahankan beberapa
ciri Bahasa Indonesia. Yang lebih buruknya lagi, sebagian besar dari kamus gaul
masa kini terdiri dari kata-kata yang diambil dari bahasa lain, seperti “otw”
(on the way), “brb” (be right back), “asap” (as soon as possible), dan “typo”
(salah ketik), yang bahkan saya sendiri sering gunakan di medsos.
Coba anda cari, ‘Bahasa gaul’ di Google. Anda akan dibawa ke sebuah
halaman berjudul “15 Bahasa Gaul Ini Lagi Ngetrend di Kalangan Remaja Masa Kini ...” dan di antara 9 kata dalam
Bahasa Inggris, anda akan menemukan hanya 6 kata Bahasa Indonesia. Jadi
sebetulnya semakin sedikit Bahasa Indonesia, baik yang baik dan benar, maupun
yang slang, yang kita ucapkan setiap hari seiring bertambahnya pengaruh dari
budaya luar… dan phenomena ini tidak terjadi di kalangan muda saja.
Akronim di peraturan Bahasa
Indonesia sebenarnya memang ada, tetapi dengan adanya perkembangan, munculah
istilah-istilah baru. Asal usul penggunaan akronim berawal dengan keinginan
manusia untuk mempersingkat percakapan mereka supaya lebih cepat dan efektif,
khususnya saat berkomunikasi secara tidak langsung (dengan gadget). Dari situ,
mulailah ada pengaruh dari budaya barat, dimana orang Indonesia, khususnya yang
berusia muda, mulai tertarik kepada trend-trend western, mulai dari musik, busana, sampai bahasa. Akronim seperti “otw”,
“asap”, dan “typo” mulai memasuki kamus gaul anak remaja di Indonesia dan
menjadi bagian dari percakapan sehari-hari sebagai upaya para remaja untuk
tetap up-to-date dengan trend-trend yang ada. Meskipun Bahasa Indonesia
mengalami perkembangan dalam arti penambahan kosakata dan akronim dari hasil
globalisasi, hal tersebut tidak akan memberikan dampak negatif terhadap Bahasa
kita, asalkan digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi, dalam konteks dan
komunitas yang tepat. Hanya saja… jelas akan terlihat dampak yang signifikan
terhadap keformalitasan Bahasa Indonesia secara keseluruhan.
Kembali lagi
ke topik hilangnya pembelajaran bahasa ibu di JIS: Dengan tidak diajarkannya Bahasa Indonesia,
kita dapat dengan aman berpendapat bahwa sudah tercabutlah nasionalisme di JIS,
dan ini hanyalah sebuah permulaan; siapa yang bisa menjamin bahwa ini bukanlah
titik dimana kebanggaan rakyat negara kita terhadap Bahasa Indonesia mulai memudar?
Dengan pendidikan saja kita tetap terpengaruh oleh budaya luar, karena memang
merupakan sifat dasar manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan di
sekelilingnya. Bagaimana kalau kita tidak diberi pendidikan mengenai Bahasa
Indonesia? apakah tidak akan punah Bahasa ibu kita?
Itulah kenapa saya sangat tekankan kepada adik
saya untuk menumbuhkan dan menjaga rasa cinta dalam diri anaknya terhadap
bangsa kita semua. Jadi sebenarnya walaupun mungkin di lingkungan sekolah ia
tidak diberi pengertian yang dalam tentang Bahasa kita, dan tidak ditumbuhkan
rasa hormat dan cinta terhadap bangsa kita, setidaknya ia dapat pulang setiap
hari dan menemukan keindahan berbahasa Indonesia di rumahnya. Semoga hal ini
cukup untuk memelihara Bahasa kita dan menjaga janji yang kita buat pada tahun
1928.
salam hangat,
Tanti